Malam minggu lagi. Kanda dan Dinda menikmati malam di Valanta kafe. Nyaris satu jam mereka di sana. Bercerita banyak hal dengan hati ceria penuh warna. Mulai dari soal batu akik, hingga predeksi ekonomi dunia di tahun 2015. Dua gelas jus alpukat tinggal separuh isinya menemani mereka. Dua porsi cumi rebus juga baru saja mereka tuntaskan. Tak ada lagi rasa tak nyaman seperti minggu kemarin.
"Cari tempat lain yuk, boring lama-lama di sini," ajak Dinda.
"Kemana lagi?"
"Kemana aja, yang penting ke pantai, makan ikan bakar kayak hari itu."
Kanda mengangguk setuju. Lantas memanggil pelayan. "Mbak, mbak, berapa semuanya?"
Pelayan yang malam minggu lalu memaki Kanda, kali ini mendekat dengan mimik sangat bersahabat. "Semuanya 43.000, Mas."
"Biar aku yang bayar, Mas," kata Dinda seraya membuka dompetnya.
"Gak usah, Sayang. Aku aja," tolak Kanda.
"Kan aku yang ngajak makan di sini tadi? Aku aja ya? Kumohon pliss."
"Jangan gitu dong. Giliran kamu nanti pas makan ikan bakar."
"Ntar di sana aku yang bayar, di sini gak apa-apa kok aku juga yang bayar."
"Gak fair kalo gitu. Kemarin kamu udah traktir ikan bakar, trus waktu nonton ludruk dua hari lalu kamu juga yang beli tiketnya."
"Ga usah dingomongin lagilah masalah itu. Pokoknya biarin aku yang bayar semuanya. Okesip?"
"Nggak, nggak. Nggak bisa!" Kanda mengibaskan tangannya.
"Kalo kamu terus ntar tabungan kamu habis lho, Mas!"
"Demi cinta kita aku rela kok. Berapa tadi, Mbak?"
"Ih! Egois banget sih? Nih Mbak duitnya, kembaliannya untuk Mbak," kata Kanda menyerahkan selembar limapuluh ribu.
"Jangan diterima, Mbak! Ini aja! Sisanya untuk mbak dan ini tip dari saya,” Dinda gak mau kalah, sambil menghalangi tangan pelayan menerima uang dari Kanda, ia memberikan selembar uang limapuluh ribu dan selembar sepuluh ribu.
"Mau lo tuh apa sih?!" hardik Kanda tiba-tiba, bahasanya berubah 'lo gue', pertanda kalau emosinya mulai gak bagus.
"Aku kan mau bayar makanan kita, kenapa kamu marah?"
"Yaiyalaaah! Elo mau menang sendiri. Elo sok ngeboss! Elo anggap gue ini apaa?! Hah??!!”
Dinda diam menatap Kanda, lalu menggeleng tak mengerti. "Harusnya Mas bahagia aku rela ngeluarin biaya buat kencan kita."
"Gimana gue bisa bahagia kalo sikap lo kayak gini. Ini sama aja lo ngerendahin gue...
"Trus sekarang mau lo apaaa...?!!"
"Lo sendiri maunya apa? Hah!" tantang Dinda sambil malangkerik.
"&)(*+!!><|\\\!!!I8@!!!!"
"#!?((^%!!!!#!!!"
Mbak pelayan cuma bisa bengong melihat konfrontasi dua sejoli itu. Minggu lalu berantem gara-gara bersikukuh mempertahankan isi dompet, malam minggu ini kembali geger tapi dengan sebab yang berlawanan. Satu hal yang bisa di lakukan si mbak pelayan adalah, meletakan jari telunjuk di atas dahinya dengan posisi miring. Sarap!
"Cari tempat lain yuk, boring lama-lama di sini," ajak Dinda.
"Kemana lagi?"
"Kemana aja, yang penting ke pantai, makan ikan bakar kayak hari itu."
Kanda mengangguk setuju. Lantas memanggil pelayan. "Mbak, mbak, berapa semuanya?"
Pelayan yang malam minggu lalu memaki Kanda, kali ini mendekat dengan mimik sangat bersahabat. "Semuanya 43.000, Mas."
"Biar aku yang bayar, Mas," kata Dinda seraya membuka dompetnya.
"Gak usah, Sayang. Aku aja," tolak Kanda.
"Kan aku yang ngajak makan di sini tadi? Aku aja ya? Kumohon pliss."
"Jangan gitu dong. Giliran kamu nanti pas makan ikan bakar."
"Ntar di sana aku yang bayar, di sini gak apa-apa kok aku juga yang bayar."
"Gak fair kalo gitu. Kemarin kamu udah traktir ikan bakar, trus waktu nonton ludruk dua hari lalu kamu juga yang beli tiketnya."
"Ga usah dingomongin lagilah masalah itu. Pokoknya biarin aku yang bayar semuanya. Okesip?"
"Nggak, nggak. Nggak bisa!" Kanda mengibaskan tangannya.
"Kalo kamu terus ntar tabungan kamu habis lho, Mas!"
"Demi cinta kita aku rela kok. Berapa tadi, Mbak?"
"Ih! Egois banget sih? Nih Mbak duitnya, kembaliannya untuk Mbak," kata Kanda menyerahkan selembar limapuluh ribu.
"Jangan diterima, Mbak! Ini aja! Sisanya untuk mbak dan ini tip dari saya,” Dinda gak mau kalah, sambil menghalangi tangan pelayan menerima uang dari Kanda, ia memberikan selembar uang limapuluh ribu dan selembar sepuluh ribu.
"Mau lo tuh apa sih?!" hardik Kanda tiba-tiba, bahasanya berubah 'lo gue', pertanda kalau emosinya mulai gak bagus.
"Aku kan mau bayar makanan kita, kenapa kamu marah?"
"Yaiyalaaah! Elo mau menang sendiri. Elo sok ngeboss! Elo anggap gue ini apaa?! Hah??!!”
Dinda diam menatap Kanda, lalu menggeleng tak mengerti. "Harusnya Mas bahagia aku rela ngeluarin biaya buat kencan kita."
"Gimana gue bisa bahagia kalo sikap lo kayak gini. Ini sama aja lo ngerendahin gue...
"Trus sekarang mau lo apaaa...?!!"
"Lo sendiri maunya apa? Hah!" tantang Dinda sambil malangkerik.
"&)(*+!!><|\\\!!!I8@!!!!"
"#!?((^%!!!!#!!!"
Mbak pelayan cuma bisa bengong melihat konfrontasi dua sejoli itu. Minggu lalu berantem gara-gara bersikukuh mempertahankan isi dompet, malam minggu ini kembali geger tapi dengan sebab yang berlawanan. Satu hal yang bisa di lakukan si mbak pelayan adalah, meletakan jari telunjuk di atas dahinya dengan posisi miring. Sarap!