Titik Nol Kafe - Bagian 1

21.05.00


































Kali ini team Media Campus UGL mendapatkan kiriman Cerpen dari XCi Inside, salah satu mahasiswa di Politeknik Unggul LP3M Medan.
Judul Cerpen nya  Titik Nol Cafe, biar gak penasaran yuk kita baca sama-sama.


Titik Nol Kafe - Bagian 1

Valanta Cafe malam minggu ramai oleh pasangan muda-mudi tengah menghabiskan malam panjang. Di salah satu meja, tampak Dinda yang sebentar-sebentar menatap Kanda di depannya dengan tatapan pengen segera ditraktir. Sementara Kanda, juga tak mau kalah memberikan tatapan yang seimbang, ngarep banget ditraktir. Sudah setengah jam mereka di sana, tapi belum satupun yang pesen apa-apa. Sementara hampir seluruh pelayan cafe menatap jutek ke arah mereka. Kurang lebih makna tatapan itu adalah: kalau cuma duduk-duduk, ngapain gak pacaran di trotoar aja!

Tapi baik Kanda maupun Dinda, bukanlah ahli di bidang mengartikan bahasa tatapan. Masing-masing terus bertahan menunggu siapa yang akan pesan duluan. Karena pada jalinan kisah kasih keduanya, terdapat peraturan perkencanan tak tertulis tapi musti dijunjung tinggi: siapa yang pesan dialah yang bayar!

"Kamu mau minum apa, sayang," tawar Kanda kemudian dengan suara jentelmen. Ia nyerah dan ga tahan melihat sorot pengusiran dari mata para pelayan. Ia pikir ga masalah dia yang pesan minuman, biar nanti Dinda bagian memesan makanan.

"Aku jus alpukat aja," Dinda menyahut sumringah. Begitu dong! Di mana-mana yang namanya lelaki itu menafkahi wanita, jadi kalo malam ini Kanda yang ngeluarin biaya lagi, itu emang sudah kodratnya! Lanjut Dinda dalam hati.

"Mm... Jangan deh, Sayang. Kamu lupa nih pasti, kalo buah alpukat itu tinggi banget kandungan lemaknya? Kamu ga mau kan jadi gemuk cuma gara-gara segelas jus alpukat?" jelas Kanda entah didapat dari situs kedokteran mana. "Kalo gemuk nanti jadi ga muat lagi loh di hatiku."

Dinda tersenyum kecut. Harapannya menyeruput legitnya jus alpukat harus musnah segalanya. "Tapi....

"Udah pesen yang lain aja," serobot Kanda.

"Yaudah jus mangga arumanis aja, siapa tau bisa bikin aku tambah harum dan manis?"
Kanda menatap Dinda, mendengus pelan. "Coba deh lihat bener-bener, itu tuh bukan mangga arumanis kali. Entah mangga apa pokoknya gak enak banget, kemarin aku udah nyoba, habis itu tenggorokanku gatal-gatal."

"Jus jeruk! Nah iya, jus jeruk pasti seger dinikmati malam-malam gini," Dinda gak nyerah mengajukan pesanan, mengingat serta menimbang kalau Kanda ini bisa dihitung dengan jari berapa kali nraktir. Ini kesempatan langka yang musti dimanfaatkan sejadi-jadinya.

"Sepertinya jeruk-jeruk itu udah pada gak seger, jangan-jangan malah udah busuk. Ntar kalo kamu sakit gimana? Siapa yang akan nyakitin aku?" Kanda juga ga nyerah mencari celah menyelamatkan keutuhan isi dompetnya.

"Trus apaaa?! Banyak alasan deh lo!" geram Dinda melotot tajam ke arah Kanda.

"Bosan tau ga sih jus-jus yang udah biasa itu. Pengennya yang beda, kayak misalnya jus buah simalakama, atau apa aja deh yang penting beda. Sayangnya di sini gak ada," Kanda dengan muka badak yang telah kendor urat-urat malunya mengatakan hal-hal yang tak lazim dikonsumsi manusia normal.

"Tapi jus kulit durian kayaknya ada deh, pesen aja!" usul Dinda mulai berkurang rasa cintanya. Pengennya sih langsung mengirimkan hook kanan aja ke bibir Kanda.

Selanjutnya, dengan penuh gaya, Kanda menjentikan jari memanggil pelayan. "Mbak, air mineral dua botol. Gak pake pipet dan gak pake lama, ya?"

Belum sempat Dinda protes atas pesanan yang kelewat hemat itu, Kanda lagi-lagi membagikan ilmu pengetahuannya. "Dengan banyak minum air putih, kulit kita akan terlihat segar, sirkulasi darah lancar, membantu metabolisme tubuh, dan yang penting aman!"


"Aman dari Hongkong!"

"Bukan dari Hongkong, Sayang. Ini langsung diambil dari sumber mata airnya di Berastagi. Tanpa pewarna! Tanpa pengawet! Jadinya aman. Yuk mari dinikmati. Tos dulu," Padahal aman yang dimaksud Kanda adalah dompetnya.

Dan rasanya asing banget cuma minum air tawar di antara pengunjung lain yang di hadapan mereka terhidang rupa-rupa makanan dan minuman berwarna.

Merasa telah memesan minuman, Kanda berharap Dinda lah yang bertanggungjawab untuk urusan makanan. Sedang Dinda berpikir, sebagai cowok Kanda lah yang musti menanggung semuanya. Berhubung tak juga ada yang mengalah, terpaksa air putih mereka tenggak hingga tetes terakhir hingga perut kembung. Ujung-ujungnya Kanda jadi kebelet pipis.

"Kita pulang aja yuk," ajak Kanda mulai bete dengan suasana seperti ini.

"Pulang?!" Dinda gak terima, belum juga makan apa-apa? Kencan model apa ini?

"Aku kebelet pipis banget."

"Pipis di sini aja," Dinda nyodorin botol air mineralnya yang telah kosong.

"Mbak, minta billnya!" Kanda memanggil salah satu pelayan.

"Cuma dua botol air tawar aja pake bill-bill-an, ngabis-ngabisin kertas. Semuanya 12.000!" sahut sang pelayan sedikit tidak sopan, gak hirau walau ada pepatah klasik berbunyi 'pembeli adalah raja'. Kanda dianggapnya raja singa aja udah. Lagian mana ada raja yang nraktir kekasihnya air putih doang.

Kanda terdiam sesaat entah mikir apa. Lalu dengan berat hati mengeluarkan dompet kulit dari saku celananya. Berat dan sulit banget, seakan dompet itu terbuat dari besi seberat dua ton, padahal dibikinnya juga dari kulit pisang. Dan dari sana Kanda hanya rela menarik dua lembar lima ribuan, tak sepadan sama ukuran tebalnya yang nyaingin kamus bahasa Vietnam-Indonesia itu. "Ini Mbak, kembaliannya silahkan ambil buat Mbak aja."

Mbak pelayan menarik nafas dongkol. "Mas! Kalau Mas merasa cowok dari kaum dhuafa, jangan coba-coba masuk ke kafe ini deh. Nenek-nenek breakdance juga tau, kalo duit Mas tuh masih kurang dua rebu!" repet sang pelayan, hidungnya kembang kempis menahan kesal.

"Hehe, iya, yah," Kanda cengar-cengir minta ditendang.

"Sepuluh ribu aja ya, Mbak," Kanda mencoba bernegosiasi.

"Segitu pake ditawar?!"

"Lah saya kan emang pesen air tawar, masa ga boleh ditawar?"

Kemudian Kanda menoleh ke arah Dinda, menatap Dinda penuh cinta. "Beb, bayarin dulu dong kurangannya. Kelak kalo aku udah kaya raya, aku janji akan kuganti plus bunganya sebesar 25%."

"Nggak!" Dinda menjawab ketus.

"Dua ribu rupiah aja ga mau bantu?! Duh... Ada ada aja kamu, Sayang."

"Mas sendiri tuh yang ada ada aja, bukannya nraktir, malah minta tambahan dana," sahut Dinda bete.

"Kamu tuh ya?! Baru dua rebu perak aja susah amat! Gimana seterilyun? Kan kamu yang ngajakin kemari tadi, harusnya kamu dong yang keluar duit!"

Dinda menatap Kanda tajam. "Perhitungan banget sih! Cowok apa bukan sih?"

Wajah Kanda langsung masam dikatain seperti itu. Dengan gerakan kasar ia kembali mengeluarkan dompet. Dinda kira Kanda akan mengambil uang untuk menutupi kekurangan, tapi ternyata Kanda cuma mengeluarkan KTP yang langsung disodorkan pada Dinda. "Nih baca sendiri jenis kelamin gue! Cowok apa bukan!" sungut Kanda sedikit kesal telah diragukan jenis kelaminnya. Dia bersumpah, kalo Dinda masih belum percaya juga, ia akan keluarkan jenis kelaminnya di depan publik.

"Laki-laki KTP!" debat Dinda.

"Woy! Berantemnya ntar diterusin di rumah. Sekarang cepet bayar kekurangannya sebelum aku panggil sekuriti!" ancam pelayan.

Akhirnya, Dinda mengalah, ia relakan dua helai uang seribu yang sudah jamuran miliknya untuk menutupi kekurangan pembayaran.

****** BERSAMBUNG ********

Tunggu Kelanjutan Ceritanya Minggu Depan ya ........ :)


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Comments
1 Comments

1 komentar:

Write komentar
21 Desember 2018 pukul 05.21 delete

Akhirnya ketemu juga dengan penulis aslinya.

Reply
avatar